
Sumber gambar, Getty Images
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan di Stadion Gelora Bung Karno dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-73 Nahdlatul Ulama (NU) 27 Januari 2019.
Puncak peringatan Hari Ulang Tahun (Harlah) Nahdlatul Ulama (NU) pada Selasa (07/02) di Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, diklaim akan dihadiri satu juta warga NU dan “banyak tokoh politik“. Apakah momen perayaan itu akan bermuatan politik?
Sekjen Pengurus Besar NU (PBNU) Syaifullah Yusuf mengatakan “tidak akan menanggapi“ penafsiran yang menyebut acara itu bermuatan politik karena perayaan Harlah 1 Abad NU merupakan “upaya untuk memberikan saluran kepada warga NU yang ingin mendapat keberkahan“.
Yenny Wahid, selaku ketua pelaksana, mengatakan acara itu “murni“ sebagai “perayaan satu abad“ organisasi Islam terbesar di Indonesia.
“Bukan NU yang sengaja menjadikan ini momen politik. Enggak. Justru ada keinginan dari semua tokoh-tokoh politik untuk datang, ikut merayakan Harlah NU 1 Abad karena ini momen yang sangat spesial dan karena tahu ini akan dihadiri jutaan massa,“ kata Yenny kepada BBC News Indonesia, Senin (06/02).
NU memang memiliki “sejarah“ selalu dikunjungi tokoh-tokoh partai politik sampai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), kata pengamat politik yang merupakan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro.
Namun, saat ini kondisinya berbeda. Dia menunggu “pembuktian“ atas pernyataan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) yang mengeluarkan seruan NU kembali ke khitah tahun 1926 dan tidak terlibat politik praktis.
“Ini yang akan kita wait and see“, kata Siti kepada BBC News Indonesia.
Politik praktis atau kembali ke khitah, ‘tergantung pucuk pimpinan‘
Sejak era kemerdekaan, NU sudah terlibat dalam politik praktis. Pada November 1945, NU ikut membentuk Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), meski sekitar 1952 memutuskan untuk keluar.
Kemudian, NU membentuk partainya sendiri dan berpartisipasi dalam Pemilu 1955, dan berhasil memiliki kursi di parlemen.
Di masa Orde Baru, rezim saat itu melakukan ‘penyederhanaan’ partai, dan NU ‘digabung’ dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Dalam Mukmatar NU ke-26 di Semarang pada 1979, gagasan mengembalikan NU ke khitah muncul.
Namun, keputusan untuk kembali ke khitah baru diambil saat Muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984. NU memutuskan keluar dari area politik praktis.
Khitah NU atau yang dikenal juga khitah 26 merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada 1926, tahun berdirinya NU. Pada waktu itu, pondasi perjuangan NU adalah “sosial keagamaan”.
Kini, dalam berbagai kesempatan, Gus Yahya menyatakan bahwa NU kembali tidak terlibat politik praktis dan mencegah identitas NU digunakan sebagai “senjata politik” untuk menggalang dukungan dalam Pemilu 2024.
Lantas apa yang membuat Gus Yahya kembali menyerukan khitah 26 setelah sekian lama?
Sumber gambar, Antara Foto
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf (kedua kiri) bersama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (kedua kanan) dan Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar (kanan) meninjau persiapan Resepsi Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (5/2/2023).
Pengamat politik Siti Zuhroh menjelaskan sejak 1984 hingga sekarang terjadi “dinamika” dalam tubuh NU sendiri, yang menyebabkan beberapa pihak “tertarik ke politik” dan mengabaikan “kembali ke khitah”.
“Lagi-lagi tergantung pucuk pimpinannya. Syahwatnya ke mana? Kemauannya memimpnnya ke mana, ditarik ke khitah atau ke politik praktis? Karena sejarahnya ada Partai NU,” ujar Siti.
Dan menurut dia, keputusan ketua umum PBNU periode saat ini, yang memutuskan kembali ke khitah, sudah dilakukan berdasarkan evaluasi dari “dampak-dampak dari keterlibatan politik praktis NU”.
Dampak itu, kata Siti, tentunya berdampak negatif, karena jika dampaknya positif, pasti akan dilanjutkan.
“Ternyata tidak memajukan umat NU. Ini hanya digunakan oleh sekelompok elit untuk menyalurkan kepentingan dan aspirasinya dan politiknya. Ujung-ujungnya kekuasaan,” ujar dia menjelaskan.
Dia menyebut keputusan Gus Yahya ini “memutus mata rantai” yang sudah dilakukan pendahulunya Kyai Haji Said Aqil Siradj.
Pada tahun politik 2019 lalu, Said Aqil selaku Ketua Umum PBNU kala itu menyatakan dukungan kepada pasangan capres dan cawapres Joko Widodo dan Ma’ruf Amin di pemilihan presiden dan mengklaim seluruh struktur NU akan memberi dukungan penuh.
Sekjen PBNU Syaifullah Yusuf mengatakan ”secara pribadi” pengikut dan pengurus PBNU boleh berpolitik, tetapi ”tidak boleh membawa lembaga”. Sementara peran partai politik tetap berada di tangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Kadang masih ada yang suka lupa membawa-bawa lembaga, misalnya mendukung calon presiden di kantor NU. Itu kan dalam aturan organisasi enggak boleh,” ujar Syaifullah.
Keterlibatan tokoh agama membuat ‘degradasi’
Tujuan lainnya mengembalikan NU ke khitah, kata Syaifullah, dilakukan untuk mengurangi “politik identitas”.
Pemilu adalah sarana untuk memperkuat persatuan, tegas Syaifullah, “bukan malah merenggangkan kita”.
Pernyataan itu sesuai dengan analisa Siti Zuhro. Dia menilai NU menyadari ada “penurunan nilai-nilai” NU atau “degradasi” ketika para tokoh agama terlibat politik praktis.
“Makanya di Jawa Timur ada istilah, ‘Sudahlah ustad, kiai, kembali saja ke musala, jangan mengurus Pilkada’” tuturnya.
Siti mengatakan sejak 2005, tepatnya saat pemilihan kepala daerah (pilkada), kompetisi kontestasi sangat luar biasa. Puncaknya terjadi pada Pilkada DKI 2017, di mana terjadi politisasi agama atau SARA.
Ke mana suara warga NU akan mengalir?
Sumber gambar, Antara Foto
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kiri) menghadiri Ijtima Ulama Jakarta di Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Dengan keputusan PBNU kembali ke khitah, Siti Zuhro memperkirakan suara warga NU yang jumlahnya mencapai puluhan atau bahkan seratusan juta jiwa akan “terbagi sendiri” atau yang dia sebut “berdiaspora”.
Menurut Siti, suara yang terbagi-bagi itu sudah biasa terjadi di NU. Hal itu juga diamini oleh Syaifullah. Dia mengatakan warga NU berada di banyak partai politik.
Bahkan dia juga menyebut suara warga NU “tidak akan melulu ke PKB” karena jika demikian partai pimpinan Muhaimin Iskandar itu akan menjadi partai yang sangat besar.
Suara warga NU diperkirakan juga masih akan bergantung pada pilihan para kiai dan ustaz, meski hal itu tidak akan dilakukan secara “terang-benderang” seperti sebelumnya karena ada seruan kembalike khitah.
“Jadi ada rasa segan karena kan sudah ada imbauan itu. Ketika enggak ada imbauan, ya sudah. Apalagi pucuk pimpinan tertingginya melakukan manuver ke mana-mana, tentu akan dilakukan secara luas,” ujar Siti.
Bagaimana nasib PKB?
Sumber gambar, Antara Foto
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menggelar tasyakuran memperingati Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) dengan istighotsah dan pemotongan 100 tumpeng, Minggu (5/2/2023).
NU yang kembali ke khitah dan suara warga NU yang bakal menyebar, ditambah hubungan PKB yang ”kurang harmonis” dengan NU, menurut Siti akan merugikan PKB karena akar rumput akan mengalami ”kebingungan”.
“Waduh kita enggak boleh lho berpolitik praktis,” kata Siti menyontohkan kebingungan yang terjadi.
”Apalagi, ‘Oh iya ketum PBNU kok kayaknya kurang srek dengan PKB’ itu akan berpengaruh. Sekecil apapun akan berpengaruh,“ lanjutnya.
Hubungan PBNU dan PKB kembali memanas jelang Pemilu 2024. Siti menyebut itu disebabkan “perbedaan paradigma”.
Gus Yahya sempat mengatakan PKB, yang dipimpin Muhaimin Iskandar, terlalu jauh menyeret NU ke dalam politik praktis.
Lebih awal lagi, Siti juga menyebut, penyebab kerenggangan hubungan antara keduanya berawal dari terpilihnya Yahya Cholil Staquf, mengalahkan Said Aqil Siradj.
Keduanya dinilai memiliki visi-misi yang berbeda.
Said mengatakan orang-orang yang menjauhkan PKB dari NU adalah orang orang-orang yang tidak senang dengan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Ketua DPP PKB Jazilul Fawaid mengakui ada ”perbedaan siasat” antara PBNU dan partainya, tapi dia tidak menyebut itu sebagai ”konflik”.
”Karena NU berpolitik etis, maka NU tidak masuk pada dukung-mendukung orang per orang. Tapi kalau PKB politik praktis, jadi mau tidak mau harus membangun koalisi, harus sebut orang per orang. Itu saja yang membedakan, tidak ada konflik,” jelas Jazilul kepada BBC News Indonesia.
Sikap NU yang pernah mengkritik langkah Cak Imin yang ingin maju sebagai capres 2024, juga dinilai Jazilul sebagai ”masukan” dan perbedaan pendapat sering terjadi antara NU dan PKB.
Bagaimanapun, Siti menegaskan, PKB tidak bisa berharap suara NU ”akan bulat dan tunggal ke dirinya” selama periode kepemimpinan Gus Yahya di NU.
”Diprediksikan ke depan, pileg (pemilihan legislatif)-nya itu, apakah akan sebanyak itu lagi dapatnya? Kalau tidak, lari ke mana suaranya? Apakah ada partai yang bisa menandingi PKB? Ujar Siti.
Itu tergantung dengan pilihan tokoh-tokoh NU, kata Siti, seperti misalnya keputusan Yenny Wahid yang ingin membawa dukungan Gusdurian ke mana, atau mungkin ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).